Melihat Dunia dari Bukit Tuli
Langit senantiasa mendikte peraturan
Anak anjing hanya mampu mengais cerita
Narasi gong-gongannya terjadi begitu saja
Apa daya ada rekayasa tak terbaca
Tong pergolakan ideology berdemo
di jajaran pagar gedung nusantara
memproduksi interpretasi bibit bangsa
Politik—revolusi—kemenangan
Harus jadi alur baru setiap sudut sinema
Cerita lain….
Di kota dari bagian ini
Cina-cina sipit bersepeda
Membopong sarung dan sandal dagangan
Menuju masjid
Hanya untuk “Ironi Sarkas”
Dari bukit berbeda lain
Aku Penguasa Merubah Kalian
Dalam Kesejahteraan Palsu
dan Kebijaksanaan kosong
Akulah Presiden….
Firdausya Lana
Tanpa Judul
Masyarakat tak nyaman akan semua
Aktif demo dimana saja
Indonesia tanah penuh dengan kebimbangan
Pergolakan hasrat yang tinggi
Kehidupan yang menyesatkan hati
Cat hitam pada lembaran cinta
Timba penuh dosa kecil
Putih pahala yang tak terlihat
Lari menuju kemaksiatan
Buku-buku dosa yang berserakan
Berjalan di atas lumpur dosa
Jendela pada tembok menara hati
Mulut dan jari yang tak sesuai
Melampaui dosa sampai genteng keimanan
Erni Retnosari
Nyanyian Alam
Mulai membuka dan menatap pagi ini di pinggir jendela
Melihat matahari yang mulai berjinjit naik
Namun angin masih merangkak menyentuh tubuh
Dingin bagai memeluk sukmaku
Berjalan di atas tanah yang membeku
Namun kutatap pohon-pohon malu
begitupun ranting-ranting mulai tersipu
Kala embun pagi mulai merayu
Kumpulan katak memimpin orkestra
Diiringi debur ombak yang bernyanyi
Hati ini riang, pantaipun tertawa
Sungguh syahdu nyanyian alam pagi ini
Fany Chusnia
Sesalku
Ketika mata ini tak lagi terjaga
Aku mulai bergegas membuka jendela
Jendela hati yang penuh teka-teki
Jendela hati yang penuh ilusi
Ilusi akan bayangan semu
Ilusi akan bayangan sang ibu
Sang ibu yang selalu kurindu
Kadang aku memang kesal
Kesal dengan diriku
Yang membuat ibu mendekati ajal
Ku coba tepiskan rasa rindu ini
Ku coba hancurkan rasa sesal ini
Rasa sesal yang menyelimuti batinku
Terhadap diriku yang membisu
Aku amat sayang ibu
Tapi ibu tak mengenalku
Ibu telah gugur
Ibu telah hancur
Demi menghantarku ke negeri hijau
Menghirup atmosfer di khatulistiwa
Melihat indahnya cakrawala
Dengan menengok indahnya dunia
Miftakhul Jannah
Pengangkuan Menggugat
Kini pengakuan itu kugendong
Pada meja malam menjerit
Tak hanya gelisah tiap
Tapak daun telinga
Ya… yah… jerit kebisuan
Membawa pusaran air mata
Pengakuan dari wajah tergantung
Hanya karena bola kebingungan, Pengakuan….
Tak mendapat batas ramalan
Seperti pujangga menggugat
Tingkah insane berbunga… berbunga…
Molet…
Yang menggauli asmara, Pengakuan…
Dengan gairah mendaki
Aik Vela Pratisca
Taukah kau?
Aku disini menanti-Mu
Faedah cinta yang Kau beri
Inikah Mahabbah-Mu yang slama ini Kau beri untuk Hamba-Mu yang lalai?
Ku akan jaga slalu cinta-Mu Ya ALLAH
Wahai Ibu
Kau ayu
Daku rindu padamu
Kau lentera Hidupku
Aku baru tahu cintamu setebal kayu
Aku baru sadar cintamu sehalus bulu
Aku baru mengerti cintamu sekeras batu
Aku mencintaimu Ibu…
Taufiqur Rohman
Semalam
Semalam aku berdiri
Iringan gendang yang tak bertalu memainkan setanku
Lalu aku terjatuh di atas lumpur
Kuangkat hingga menyentuh langit hitam kelam
Andaikan engkau kiranya menemaniku, aku takkan begini
Opera Sabun I
Pimpinan Indonesia hanya terbang lewat awan dan langit
Pemuda pimpinannya berjalan-jalan menyeret kami, pemuda penjahit
merah putih
Sepeda ontel ksami dilindas oleh mobil haram mereka
Rebanapun turut menyenyikan tembang duka kami
Kami, pemuda mahasiswa akan terus berdiri di antara revolusi
dan opera sabun pemerintah
Opera Sabun II
Gurita telah meninggal dengan kaki bersila
Bokong menungging menghadap cicak dan tikus
Mereka mengamplas bokong gurita dengan pancasila
Semut-semut pun berlarian ke Sabang—Merauke
Namun sial takkan pernah kemana
Udara pengap menjadi nafas kehidupan
Cicak dan tikus lakon dari opera sabun
Indonesia 1945 hingga tak terhingga
Silka Y.D
Menara Hipokrisi
Menara hipokrisi menjulang tinggi
Mulut-mulut rombeng politisi
Teriakkan gertakan-gertakan politisasi
Masa depan suram
Buram!
Suara bising
Tajam, rusuh!
RICUH!
Keringat meluber, tumpah
Menetes tertarik angin
Ciuman Kematian
Lewat celah-celah angin
Kau guratkan ciuman kematian
Panah membusur api
Menggilas nestapa yang tak terperi
Semangkuk ketegaran tak cukup untuk
menelan sebongkah kebiadaban
Hanya tinggal sepotong kejujuran yang
lumat tergilas masa
Ani Aulia Safitri
Republik Buatan
Terjebak pada ideologi
Misteri interpretasi yang diproduksi
Membuat teriakan nenek tua berbaju putih
Menumpahkan cat di atas topi dan sarung bangsa cina
Music berlari menembus awan
Komunis aktif dalam tawanan
Tak akan mendapat dukungan
Di republik ku, republik buatan
…………….
Air menari diiringi alunan melodi sunyi
Mata bergulat memanjat dari tanah gelap
Tangan gergaji memotong hati
Awan mengalir seperti para merpati
Telinga berbisik memukul jemari
Batu temaram memendam tangis
Matahari muram terhina kekuasaan
Tangan menggugat, hai engkau yang jahat
Rina Septi Maharani
Masih
Kuambil benih gigih
Meski aku tertatih lirih
Rasa pedih perih
Tak menghentikanku tuk berhenti berlatih
Dan semangatku pun masih
Indonesia terjebak dalam ideologi komunis
Mahasiswa bekerjasama untuk menentukan masa depan
Rebana revolusi terus berteriak di atas menara bambu putih
Rasa kasih yang gugur di atas roda
Benih gigih tumbuh dalam raga
Genderang revolusi terus membahana
Angin perjuangan terus memberontak
Derap waktu terus berpacu
Namun, langkah kaki terhenti dalam duka
Nunung
Serpihan Rindu
Angin binal tanpa terasa menelusuri wajahku
Menekan sejuta aroma aurtaku entah kemana
Aku hanya mampu menegaskan rautmu dari sini
Hanya nafas kita mungkin yang berpapasan di luar sana
Dan di ujung dinding ini, otakku dipasung senja
Naluri dan jiwaku terkoyak meronta
Jiwa ini lelah, rinduku merintih lirih
Kapan lagi kita akan dipertemukan waktu?
Mitra Setiawan
Suara dari Balik Awan
Ketika mentari berikan sinar di pagi
Terdengar suara dibalik awan
Angin pun memberi syarat menusuk hati
Ketika sang garuda dengan kokoh
Menengok ke kanan
Namun suara itu mulai menghilang
Ketika kita terpedaya dengan nikmatnya
Tipuan budaya barat
Semakin terpuruk dalam langkah kata
Maka semakin hilang jati diriku
Dimanakah rasa malumu
Dimanakah rasa kesadaranmu
Dimanakah rasa keinginanmu
Untuk kembalikan sang garudamu
Majulah kawan,
Berdirilah di depan
Untuk bangun ibu pertiwimu
Moh. Faizal Baun
Pengecut
Pemikiran tolol terpampang di pamflet jalanan
Aku melihat dalam taksi,
bus kota,
truk – truk pengangkut rongsokan dan
di mulut mereka.
Miris, aku mendengar ideology berjajar
Pada sandal dan sepatu lusuh
Apek, bau jas-jas rongsokan
katanya
“ Untuk penguasa “
Berkoar-koar dalam mimbar
terka
“otaknya kena lepra” *
Catatan: *”otaknya kena lepra” di ambil dalam novel Olenka karya Budi Darma
Surat Buat Emak
Mak, aku tulis surat ini ketika dagingmu terbuang
Sabar mak, aku lagi cari celah-celah cabul
memilah mana daging emak dan bapak
“mak, dagingmu tinggal sejumput”
Kau bilang maki
Mak, aku tak lagi punya
Kau bilang bukan mak
mak, mak, mak
kau lempar arang menggerang
Dan aku mencicit mancit
mak, mak, mak
Doa ku
Mak masuk surga
Icha Lusyta
Pemuda tak Berarah
Adakah waktu sejenak
Gunakan sedetik untuk mengingat
Ego bertatah bak Raja kuasai diri
Lupa akan kewajiban yang hakiki
Permainan hati dan jati diri
Membuat air got dalam ember hitam
Berguncang diiringi rebana sang pengantin
Sarung dan tingginya menara masjid
Tak mampu menggugah hitamnya sandal usang untuk beranjak
Diri dipermainkan akan kebahagiaan
Membuat hidup terasa indah dalam sempitnya ujung gang
Seng rombeng dan lusuhnya kabel listrik jadi penghias
Pemuda dengan sepeda ontel tua menuju tingginya singgasana petang
Berlari
Lalu mati
Tarian-tarian api Sang bidadari
Jembatan sempit merentang duri
Gerbang sari bumi
Gagah menanti dan menghantui diri
Lolongan merahnya lembar-lembar kertas
Hujan buaian malam
Rintihan bulan sabit petang
Rayuan sampah-sampah jalanan
Merdunya celoteh gendering perang
Menyanyikan lagu-lagu jahanam
Menjadi tabir penghalang
Teriakan-teriakan lantang
Mengundang 5 titik bintang
Pemuda dengan sepeda ontel tua
Kini berbelok pada ayat-ayat sesat
Sang Dajjal
Agelgara Kusumo Putro
Memerangkan Impian
Perang dingin dengan pikiran
Melahirkan banyak pertanyaan
Unsur masa depan pun tumbuh menguasai angan
Pergolakan yang samar
Menyatu dengan ambisi terdepan
Hanya sebuah keinginan yang tajam
Lembut cita-cita kulukis lugu dilangit
Tumpah rasaku ketika berlari cepat
Putih, rancak, ramai
Irama-irama menyatu di kalbu
Jatuh bukuku
Hitam dan biru asaku
Impianku membentang di atas buku-buku langit ketuju!
Yuni Kuswidarti
Logika Dari Lensa Mata
Kau mengahakimi semua
Ingin yang terbaik dari rajamu
Ini bukan salah bapak
Ini salah manusia dunia kecil
Jika ingin layak
Mengapa kau tak pilih yang benar?
Apa mungkin ada senyum setan yang mengajakmu salah??
Ini bukan kecaman bagi manusia dalam dunia kecil
Hanya sebuah logika yang ditangkap dari lensa mata
Manusia dunia kecil yang masih selalu mengeluh…
Masih selalu meminta…
Bahkan tak segan tuk memerintah
Jika kau hebat lakukan semua sendiri
Tak perlu habiskan suara…
Tak perlu bikin huru hara
Putri Raflesia
Ibu
Seorang peri bermahkota kerudung senja
Mengepakkan sayap putih tiada tara
Seperti itulah wajahmu di mataku, ibu
Prisma-prisma tinggal dalam peraduanmu
Ketika badai melambai serupa petir berderai
Maupunjika pelangi mendaki lapisan langit
Disini, ibu tetap berdiri buatku
Menyusun langkah arah dalam kalbu
Ibu adalah seorang dewi dengan jiwa raga suci
Bahkan, Tuhan pernah berkata
Di telapak kakimu terbentang surge
Doamu yang lancer mengalir, dekat pada-Nya
Suatu saat,
Andai aku mampu melaju penuh anganku
Dan kelak aku berdiri di tingkat citaku
Atau ku dapat segala jawab harap
Ku tahu, ibulah yang menopangku
Membangun jembatan-jembatan kecil,
Di atas jalan-jalan berbatu dan kerikil
Walau sentuhan ibu sunyi dalam sukma
Serta jiwa hampa dalam indra
Namun, di sini ada kalbu yang berkata-kata
“ibu selalu ada untukku”
Ef Tria
Ku Terka dia
Di tengah kerumunan ia berteriak
Di terik matahari ia berseru
Menyerukan segala
Tanpa henti
Berseru dari hati yang bergejolak
Meminta serangkai keadilan
Satu berhenti lain menyambut
Lain berhenti lain bertaut
Lainnya berhenti lain-lain berseru
Kalbu yang bersembunyi di balik jantung
Mengguntur menyerukan tiada putus
hingga Tuan menyadari,
“Kamilah hambamu yang tertindas keserakahanmu”
Dwi Putri Pertiwi
Tangan Putih
tangan-tangan putih meraihku
jari-jari mungil mendekap ketakutanku
ingin berontak tapi hati terkapar
ingin menghindar genggaman terikat
gamang menatap cahayanya kemilau
tangannya lentik nan halus
seakan bidadari membelai mesra
namun nyata membangunkanku tiba-tiba
mengaburkan lautan dan daratan
yang ku pijak di alam terbuka
memaksaku kembali menatap tangan putih
dalam gelapnya temaram surya
dalam suramnya terang rembulan
dalam jendela keabadian rupa
Dwi Sriwahyuni
Tawa
Tawa manis anak ingusan itu membuatku menangis
Di kala akupun bahkan tak sanggup tertawa
Anak ingusan itu bahkan lebih gelak lagi
Tertawa tertawa tertawa dan terus tertawa
Tidakkah dia tahu bangsanya
Tidakkah bisa dia lihat kehancuran negerinya
Hanya sibuk tetawa sendiri
Bahkan ketika tawanya hilang
Hanya sibuk mencari tawanya sendiri
Bahkan ketika aku terjatuh
Hanya menertawakan dan mengacuhkan
Dan melanjutkan tertawanya
Aku pikir saat ini tertawa telah menjadi harga mahal
Tetapi bahkan anak ingusan itu
Masih bisa tertawa
Berapa banyak harta yang ia miliki
Sehingga bisa membeli sebuah tawa
Syari Khoirur Rohman
How to make money in real money - WorkMaker Money
ReplyDeleteUsing Tipsters like Tipstrr – you can earn money from bets by winning and winning. Tipsters that are trustworthy and งานออนไลน์ have good records.